Selasa, 12 Juli 2011

Askep Chusing Syndrom


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Kelenjar adrenal terdiri dari medula dan korteks. Korteks terdiri atas zona glomerulosa, fasikulata, dan retikularis. Zona glomerulosa mensekresikan aldosteron dan dikendalikan oleh mekanisme renin-angiotensin dan tidak bergantung pada hipofisis. Zona fasikulata dan retikularis mensekresikan kortisol dan hormon androgenik dan dikendalikan oleh hipofisis melalui ACTH. Sekresi ACTH oleh hipofisis dikendalikan oleh (1) faktor pelepas kortikotropin hipotalamus, dan (2) efek umpan balik kortisol. Ketika terjadi suatu gangguan pada pembentukan hormon-hormon tersebut baik berlebih maupun kekurangan, akan mempengaruhi tubuh dan menimbulkan keabnormalan. Sindrom cushing adalah terjadi akibat kortisol berlebih.
BAB 2
TINJAUAN TEORI


2.1    Definisi Cushing Sindrom
Harvey cushing pada tahun 1932 menggambarkan suatu keadaan yang disebabkan oleh adenoma sel-sel basofil hipofisis. Keadaan ini disebut “penyakit cushing”.
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, hal. 1088)
Syndrome cushing gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik (latrogen). (Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Syndrome cushing disebabkan oleh sekret berlebihan steroid adrenokortial terutama kortisol. (IDI). Edisi III Jilid I, hal 826).
Syndrome cuhsing akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15 Hal 1979).

2.2    Etiologi
Sindroma cushing dapat disebabkan oleh :
1.  Meningginya kadar ACTH ( tidak selalu karena adenoma sel basofil hipofisis).
2.  Meningginya kadar ATCH karena adanya tumor di luar hipofisis, misalnya tumor paru, pankreas yang mengeluarkan “ACTH like substance”.
3.  Neoplasma adrenal yaitu adenoma dan karsinoma.
4.  Iatrogenik.
Pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik. Dijumpai pada penderita artitis rheumatoid, asma, limpoma dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen antiinflamasi.

2.3    Manifestasi Klinis
Dapat digolongkan menurut faal hormon korteks adrenal yaitu : cortisol, 17 ketosteroid, aldosteron dan estrogen.
1.  Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
    1. Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
    2. Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
    3. Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.
    4. Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
    5. Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
    6. Diabetes melitus.
    7. Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia.
2.  Gejala hipersekresi 17 ketosteroid :
    1. Hirsutisme ( wanita menyerupai laki-laki ).
    2. Suara dalam.
    3. Timbul akne.
    4. Amenore atau impotensi.
    5. Pembesaran klitoris.
    6. Otot-otot bertambah (maskulinisasi)
3.  Gejala hipersekresi aldosteron.
    1. Hipertensi.
    2. Hipokalemia.
    3. Hipernatremia.
    4. Diabetes insipidus nefrogenik.
    5. Edema (jarang)
    6. Volume plasma bertambah
Bila gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit Conn atau hiperaldosteronisme primer.

4.  Gejala hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling karakteristik adalah gejala hipersekresi kortisol, kadang-kadang bercampur gejala-gejala lain. Umumnya mulainya penyakit ini tidak jelas diketahui, gejala pertama ialah penambahan berat badan. Sering disertai gejala psikis sampai psikosis. Penyakit ini hilang timbul, kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul ulkus peptikum dan mungkin fraktur vertebra. Kematian disebabkan oleh kelemahan umum, penyakit serebrovaskuler (CVD) dan jarang-jarang oleh koma diabetikum.

2.4    Klasifikasi
Sindrom cushing dapat dibagi dalam 2 jenis:
1.    Tergantung ACTH
Hiperfungsi korteks adrenal mungkin dapat disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofise yang abnormal berlebihan. Tipe ini mula-mula dijelaskan oleh oleh Hervey Cushing pada tahun 1932, maka keadaan ini disebut juga sebagai penyakit cushing.
2.    Tak tergantung ACTH
Adanya adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH, selain itu terdapat bukti-bukti histologi hiperplasia hipofisis kortikotrop, masih tidak jelas apakah kikroadenoma maupum hiperplasia timbal balik akibat gangguan pelepasan CRH (Cortikotropin Realising hormone) oleh neurohipotalamus. (Sylvia A. Price; Patofisiologi. hal 1091).

2.5    Komplikasi
·         Krisis Addisonia
·         Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
·         Patah tulang akibat osteoporosis

2.6    Diagnosis pembanding
Diagnosis klinis dapat dibuat bila terdapat tiga atau lebih dari tanda-tanda dibawah ini :
1.      Kelelahan yang hebat dan otot-otot yang kecil
2.      Obesitas sentripetal dan penghentian pertumbuhan.
3.      Strie yang kemerah-merahan.
4.      Ekhimosis tanpa kelainan trombosit.
5.      Hipertensi.
6.      Osteoporosis.
7.      Diabetes melitus.

2.7    Pemeriksaan Penunjang
1.      Pada pemeriksaan laboratorium sederhana, didapati limfositofeni, jumlah netrofil antara 10.000 – 25.000/mm3. eosinofil 50/ mm3 hiperglekemi (Dm terjadi pada 10 % kasus) dan hipokalemia.
2.      Pemeriksaan laboratorik diagnostik.
Pemeriksaan kadar kortisol dan “overnight dexamethasone suppression test” yaitu memberikan 1 mg dexametason pada jam 11 malam, esok harinya diperiksa lagi kadar kortisol plasma. Pada keadaan normal kadar ini menurun. Pemerikaan 17 hidroksi kortikosteroid dalam urin 24 jam (hasil metabolisme kortisol), 17 ketosteroid dalam urin 24 jam.
3.      Tes-tes khusus untuk membedakan hiperplasi-adenoma atau karsinoma :
a.       Urinary deksametasone suppression test. Ukur kadar 17 hidroxi kostikosteroid dalam urin 24 jam, kemudian diberikan dexametasone 4 X 0,5 mg selama 2 hari, periksa lagi kadar 17 hidroxi kortikosteroid bila tidak ada atau hanya sedikit menurun, mungkin ada kelainan. Berikan dexametasone 4 x 2 mg selama 2 hari, bila kadar 17 hidroxi kortikosteroid menurun berarti ada supresi-kelainan adrenal itu berupa hiperplasi, bila tidak ada supresi kemungkinan adenoma atau karsinoma.
b.      Short oral metyrapone test. Metirapone menghambat pembentukan kortisol sampai pada 17 hidroxikortikosteroid. Pada hiperplasi, kadar 17 hidroxi kortikosteroid akan naik sampai 2 kali, pada adenoma dan karsinoma tidak terjadi kenaikan kadar 17 hidroxikortikosteroid dalam urine.
c.       Pengukuran kadar ACTH plasma.
d.      Test stimulasi ACTH, pada adenoma didapati kenaikan kadar sampai 2 – 3 kali, pada kasinoma tidak ada kenaikan.

2.8    Penatalaksanaan
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
a. Jika dijumpai tumor hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor tranfenoida.
b. Jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis.
c. Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik.
d. Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/ terapi pembedahan.
e.       Digunakan obat dengan jenis metyropone, amino gluthemide o, p-ooo yang bisa mensekresikan kortisol (Silvia A. Price ; Patofisiologi Edisi 4 hal 10 )
2.9    Web of Causation Cushing Syndrome
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1    Pengkajian
A.    Identitas Klien
Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, tempat/tgl lahir , umur, pendidikan, agama, alamat, tanggal masuk RS. Lebih lazim sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dan mempunyai insiden puncak antara usia 20 dan 30 tahun.
B.     Keluhan Utama
Adanya memar pada kulit, pasien mengeluh lemah, terjadi kenaikan berat badan.
C.      Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan kartekosteroid dalam jangka waktu yang lama.
D.    Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah keluarga pernah menderita penyakit cushing sindrom.
E.     Pemeriksaan Fisik
1.      B1 (Breath)
Inspeksi : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat,  pergerakan dada simetris
Palpasi : Vocal premitus teraba rate, tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Suara sonor
Auskultasi : Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
2.      B2 (Blood)
Perkusi pekak , S1 S2 Terdengar tunggal , hipertensi, TD meningkat.
3.      B3 (Brain)
Composmentis (456), kelabilan alam perasaan depresi sampai mania
4.      B4 (Bladder)
Poliuri, kadang terbentuk batu ginjal, retensi natrium.

5.      B5 (Bowel)
Terdapat peningkatan berat badan, nyeri pada daerah lambung, terdapat striae di daerah abdomen, mukosa bibir kering, suara redup.
6.      B6 (muskuloskeletal dan integumen)
Kulit tipis, peningkatan pigmentasi, mudah memar, atropi otot, ekimosis, penyembuhan luka lambat, kelemahan otot, osteoporosis, moon face, punguk bison, obesitas tunkus.

3.2    Diagnosa Keperawatan
  1. Resiko cedera berhubungan dengan kelemahan dan menurunnya matriks tulang.
  2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurunnya kekebalan tubuh.
  3. Gangguan intregritas kulit berhubungan dengan kulit tipis daan rapuh.
  4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, keletihan, pengurusan masa otot.
  5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik.
  6. Nyeri berhubungan dengan perlukaan pada mukosa lambung.
  7. Gangguan proses berpikir berhubungan dengan fluktuasi emosi dan depresi

3.3    Intervensi
  1. Resiko cedera berhubungan dengan kelemahan dan menurunnya matriks tulang.
Tujuan : menurunkan resiko cidera
Kriteria Hasil : Klien bebas dari cedera jaringan lunak atau fraktur
Intervensi :
1.  Ciptakan lingkungan yang protektif
Rasional : Mencegah jatuh, fraktur dan cedera lainnya pada tulang dan jaringan lunak.

2.  Bantu klien ambulasi
Rasional : Mencegah terjatuh atau terbentur pada sudut furniture yang tajam.
3.  Kolaborasi dengan tim gizi dengan pemberian diet tinggi protein, kalsium, dan vitamin D
Rasional : Meminimalkan penipisan massa otot dan osteoporosis.

  1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurunnya kekebalan tubuh.
Tujuan : menurunkan resiko infeksi
Kriteria Hasil : Klien tidak mengalami kenaikan suhu tubuh, kemerahan, nyeri, atau tanda-tanda infeksi dan inflamasi lainnya.
Intervensi :
1.  Kaji TTV ( TD, Nadi, suhu tubuh dan tanda gejala infeksi lainnya setiap 4 jam)
Rasional : untuk mengetahui tanda infeksi sedini mungkin
2.  Menjelaskan pada pasien penyebab terjadinya infeksi
Rasional : Pasien mengerti dan kooperatif tentang penyebab infeksi
3.  Tempatkan pada ruang khusus dan batasi pengunjung
Rasional menghindari atau mengurangi kontak sumber infeksi, untuk menjaga klien dari agent patogen yang dapat menyebabkan infeksi

  1. Gangguan intregritas kulit berhubungan dengan kulit tipis daan rapuh.
Tujuan : Menurunkan resiko terjadinya lesi/ penurunan integritas pada kulit
Kriteria Hasil : Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit, menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan/cedera kulit.
Intervensi :
    1. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular.
Rasional : menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan infeksi.


    1. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.
Rasional : mendeteksi adanya dehidrasi/hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
    1. Inspeksi area tergantung edema.
Rasional : jaringan edema lebih cenderung rusak/robek.
    1. Berikan perawatan kulit. Berikan salep atau krim.
Rasional : lotion dan salep mungkin diinginkan untuk menghilangkan kering, robekan kulit.
    1. Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar.
Rasional : mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit.
    1. Kolaborasi dalam pemberian matras busa.
Rasional : menurunkan tekanan lama pada jaringan.
  1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik.
Tujuan : klien dapat menerima situasi dirinya.
Kriteria hasil:
Klien mengungkapkan perasaan dan metode koping untuk persepsi negatif tentang perubahan penampilan, dan tingkat aktivitas. Menyatakan penerimaan terhadap situasi diri.
Intervensi :
1.      Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang kondisi dan pengobatan.
Rasional : mengidentifikasi luas masalah dan perlunya intervensi.
2.      Diskusikan arti perubahan pada pasien.
Rasional : beberapa pasien memandang situasi sebagai tantangan, beberapa sulit menerima perubahan hidup/penampilan peran dan kehilangan kemampuan control tubuh sendiri.
3.       Anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara normal dan bukan sebagai orang cacat.
Rasional : menyampaikan harapan bahwa pasien mampu untuk mangatur situasi dan membantu untuk mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan hidup.
3.4     Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan setiap saat setelah rencana keperawatan dilakukan sedangkan cara melakukan evaluasi sesuai dengan kriteria keberhasilan pada tujuan rencana keparawatan. Dengan demikian evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan kriteria / susunan rinci ditulis pada lembar catatan perkembangan yang berisikan S-O-A-P-I-E-R ( Data subyek, Obyek, Asesment, Implementasi, Evaluasi, Revisi).

























DAFTAR PUSTAKA

Ben gray. 2010. http://askep-askeb-kita.blogspot.com/. diakses pada tanggal 2 maret 2010 pukul 13.15 WIB
Budiyanto, Carko . 2009 . Cushing Syndrom. http://medicastore.com/penyakit_kategori/1/index.html. diakses pada tanggal 9 maret 2010 pukul 16. 30 WIB 
De belto, Dasto. 2010. Askep Cushing Sindrom. http ://dastodebelto.blogspot.com/2010/02/judul-skripsi.html . diakses pada tanggal 4 maret 2010 pukul 20.30 WIB
Ganong, William F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 17th . Jakarta: EGC.
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th . Jakarta: EGC.
Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th . New Jersey: Prentice Hall, inc.
Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Phatoelisme. 2010. Askep Sindrom Cushing. http://baioe.wordpress.com/about. html. diakses pada tanggal 4 maret pukul 20.30 WIB
Sylvia A. Price. 1994.  Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit . Jakarta : EGC
Susanne C. Smeltzer. 1999 . Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddart. Jakarta: EGC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar